Sabtu, 19 Maret 2011

ANALISIS STILISTIKA NOVEL 9 DARI NADIRA

1.1  Latar Belakang

Dewasa ini, stilistika telah menjadi sebuah cabang ilmu, yang berasal dari interdisipliner linguistik dan sastra. Sebelumnya, stilistika belum dikaji secara ilmiah. Dengan demikian sesungguhnya sudah sejak lama ditelaah. Istilah stilistika berasal dari istilah stylistics dalam bahasa Inggris. Istilah stilistika atau stylistics terdiri dari dua kata style dan ics. Stylist adalah pengarang atau pembicara yang baik gaya bahasanya, perancang atau ahli dalam mode. Ics atau ika adalah ilmu, kaji, telaah. Stilistika adalah ilmu gaya atau ilmu gaya bahasa.

Majas atau gaya bahasa adalah pemanfaatan kekayaan bahasa, pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu, keseluruhan ciri bahasa sekelompok penulis sastra dan cara khas dalam menyampaikan pikiran dan perasaan, baik secara lisan maupun tertulis . Gaya bahasa mencakup diksi atau pilihan kata, struktur kalimat, majas dan citra, polarima, makna yang digunakan seorang sastrawan atau yang terdapat dalam sebuah karya sastra. Dengan membaca sebuah karya sastra, kita dapat juga menentukan ragamnya (genre) berdasarkan gaya bahasa teks karena kekhasan penggunaan bahasa, termasuk tipografinya. Gaya bahasa sebuah karya juga dapat mengungkapkan periode, angkatan, atau aliran sastranya. Misalnya kita dapat mengenal gaya sebuah karya sebagai gaya egaliter(gaya ragam); kita mengenal gaya realisme dalam karya yang lain (gaya aliran). Sebuah karya kita perkirakan terbit pada zaman Balai Pustaka dengan memperhatikan gaya bahasa (gaya angkatan).

Leila S. Chudori lahir di Jakarta, 12 Desember 1962. Terpilih sebagai wakil Indonesia penerima beasiswa pendidikan di Lester B. Pearson College of the Pacific (United World Colleges) di Victoria, Kanada. Leila memperoleh gelar sarjana di bidang Political Science dan Comparative Development Studies dari Ttrent University, Kanada.

Karya-karya awal Leila dimuat saat ia berusia 12 tahun di majalah Si Kuncung, Kawanku, dan Hai. Pada usia dini ia menghasilkan kumpulan cerpen berjudul Sebuah Kejutan, Empat Pemuda Kecil, dan Seputih Hati Andra. Pada usia dewasa cerita pendeknya dimuat di majalah Zaman, Matra, majalah sastra Horison, jurnal sastra Solidarity (Filipina), Menagerie (Indonesia), dan Tenggara (Malaysia).

Kali ini penganalisis akan melakukan Analisis Stilistika Novel 9 Nadira  yang dirasakan penting dianalisis untuk mengetahui bentuk artikel politik yang ada di Indonesia menyangkut bahasanya dan makna yang terkandung didalamnya.
l perti seseorang yang meminta pengampunan dosa dan memang begitu isinya. Gaya bahasa yang dominan adalah gaya bahasa hiperbola, seperti yang nampak pada bait berikut:

Tuhanku,
WajahMu membayang di kota terbakar
dan firmanMu terguris di atas ribuan
kuburan yang dangkal
Anak menangis kehilangan bapa
Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia

Makna Doa Seorang Serdadu Sebelum Perang lebih ditekankan kepada seorang yang meminta diampuni dosanya karena sudah membunuh orang-orang yang bersalah maupun tidak bersalah. Ini dapat terlihat dari penggalan puisi berikut :

Malam dan wajahku
adalah satu warna
Dosa dan nafasku
adalah satu udara.
Tak ada lagi pilihan
kecuali menyadari
-biarpun bersama penyesalan-
Apa yang bisa diucapkan
oleh bibirku yang terjajah ?
Sementara kulihat kedua lengaMu yang capai
mendekap bumi yang mengkhianatiMu
Tuhanku
Erat-erat kugenggam senapanku
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan sangkurku

Serdadu tersebut menerima nasib sebagai serdadu yang tugasnya membunuh orang dimedan perang. Ada sedikit penyesalan dalam dirinya membunuh orang lain yang dianggap musuh. Tetapi ia mesti melaksanakan tugasnya itu. Mungkin dalam hal ini serdadu itu menyesali mengapa tugasnya demikian.


tify;l) a h i 0 l'> 
Kelaparan adalah batu-batu karang
di bawah wajah laut yang tidur
adalah mata air penipuan
adalah pengkhianatan kehormatan
Seorang pemuda yang gagah akan menangis tersedu
melihat bagaimana tangannya sendiri
meletakkan kehormatannya di tanah
karena kelaparan
kelaparan adalah iblis
kelaparan adalah iblis yang menawarkan kediktatoran

Kelaparan digambarkan seperti iblis dan batu-batu karang yang menakutkan.

Analisis yang pertama akan dimulai dengan puisi yang pertama puisi Doa Orang lapar.

Kelaparan adalah burung gagak
yang licik dan hitam
jutaan burung-burung gagak
bagai awan yang hitam
Allah !
burung gagak menakutkan
dan kelaparan adalah burung gagak
selalu menakutkan
kelaparan adalah pemberontakan
adalah penggerak gaib
dari pisau-pisau pembunuhan
yang diayunkan oleh tangan-tangan orang miskin
Kelaparan adalah batu-batu karang
di bawah wajah laut yang tidur
adalah mata air penipuan
adalah pengkhianatan kehormatan


Dalam penggalan puisi diatas, kelaparan digambarkan seperti seekor burung gagak yang licik dan hitam. Kita bisa perhatikan seekor burung gagak yang lapar mereka akan memakan apa saja yang ada dihadapan mereka, tidak peduli lawan atau kawan yang penting burung itu merasa kenyang. Dan kelaparan digambarkan seperti demikian, karena jika seseorang lapar akan berbuat layaknya burung gagak tersebut. Kelaparan juga dapat membuat seseorang menjadi pemberontak dan menjadi pembunuh. Jika kita lihat berita-berita di televisi, seseorang tega menghabisi rekan atau sanak saudaranya sendiri kebanyakan disebabkan oleh orang-orang miskin yang kesulitan ekonomi dan pastinya lapar. Mengapa dalam puisi tersebut digambarkan orang miskin? Itu disebabkan karena kebanyakan orang yang kelaparan adalah orang miskin dan orang kaya tidak pernah merasakan apa itu kelaparan. Kelaparan juga digambarkan seperti batu karang yang tenang tetapi dapat melahap siapa saja.

Seorang pemuda yang gagah akan menangis tersedu
melihat bagaimana tangannya sendiri
meletakkan kehormatannya di tanah
karena kelaparan


Dari bait diatas, dapat kita lihat jikalau kelaparan juga membuat seseorang yang gagah dapat menangis. Intinya kelaparan dapat merusak siapa saja, tua-muda ataupun gagah-lemah. Tak peduli bagaimana kehormatan itu yang penting kenyang.

 PEMBAHASAN

Novel yang berjudul 9 Dari Nadira ini terdiri dari sembilan bab yang masing-masing babnya mengkonstruksi kehidupan Nadira, seperti puzzle atau mozaik yang disusun perlahan untuk mendapatkan gambaran yang utuh pada akhirnya. Novel ini memang agak kurang umum, sedikit eksperimental barangkali, dan alur ceritanya tidak melulu linier. Gaya penuturan dan plotnya menjadi salah satu daya tarik dari novel ini. Pembaca dipaksa menyusun puzzle-puzzle cerita hidup Nadira, beserta tokoh-tokoh di sekelilingnya: Nina dan Arya sebagai dua kakaknya, Kemala ibunya, Bramantiyo sang ayah, dan Utara Bayu sesosok lelaki yang mendamba Nadira dengan sabar dan lebih banyak hening. Nadira menjadi porosnya yang merangkai-rangkai tokoh lain.
Cerita bermula pada kematian Kemala karena bunuh diri. Kemala tewas setelah menegak obat tidur. Kematian tersebut menyisakan goncangan yang hebat dalam keluarga Bramantiyo; termasuk anak-anaknya, Nina, Aryo dan Nadira. Lewat sepenggal-sepenggal kisah dari buku harian Kemala yang ditemukan di gudang, Nadira mencoba menengok masa lalu sang bunda juga ayahnya; sejoli yang merepresentasikan generasi pasca kemerdekaan yang terbuka pada pendidikan Barat. Bram dan Kemala membangun impian sebagai suami-istri di negeri yang jauh dari tanah air, yaitu Belanda, tepatnya di Amsterdam. Bram dan Kemala adalah pasangan terpelajar dari dunia yang berbeda: Kemala seorang campuran Lampung-Palembang dari keluarga kaya raya yang merupakan simpatisan PSI di era revolusi, latarbelakangnya cenderung sekuler. Adapun Bram adalah pemuda cerdas yang memperoleh beasiswa di Belanda, lahir dari keluarga Sunda-Jawa yang kuat pada agama, simpatisan NU dan ia sendiri dekat pula pada pemikiran Natsir. Bram dibesarkan dengan tata etika ketat. Bram kemudian menjadi wartawan, hidup dan menghidupi istri dan anak-anaknya. Di tengah benturan dan latar belakang sosial berbeda antara Kemala dan keluarga/orang tua Bram, Nina, Arya, dan Nadira dibesarkan dengan berbagai problematika keluarga di era modern; pertautan intelektualitas, tradisi, moral, benturan ideologis, dan prinsip. Juga tak lupa mengenai masalah romantika yang kelam dan tidak terlalu manis.
Leila menyajikan narasi dengan tidak lazim dan unik. Ketika membaca mungkin awalnya kita akan dibingungkan oleh sudut pandang si pencerita. Kadang dengan sudut pandang orang ketiga, kemudian sudut pandang silih berganti pada tokoh dalam cerita, atau gabungan antara orang ketiga dengan tokohnya, bahkan dalam bab ”Sebilah Pisau”, pencerita diambil dari perspektif tokoh yang tidak bertait dengan cerita pada bab sebelumnya, yakni dari sudut pandang rekan kerja Nadira yang seorang ilustrator di majalah Tera. Dalam bab tersebut Nadira menjadi objek, padahal pada bab-bab awal Nadira sendiri menjadi subjek. Walau demikian, justru kita disajikan hidangan yang fresh dan tidak membosankan, di samping itu, penggambaran sebuah karakter malah tidak luntur tetapi semakin menguat per tokohnya. Seperti yang saya kemukakan di awal, cerita dalam novel ini ibarat menyusun –nyusun sebuah puzzle.
Penguatan tokoh dan konflik batin yang terjadi dibangun seiring dengan rangkaian bab demi bab. Sekalipun penuturannya tidak linier, kedalaman karakter tokohnya tertuang dengan sempurna.
Kita dihadapkan dengan Nadira, tokoh sentral dalam cerita. Nadira dibesarkan dari lingkungan intelektual sang ayah yang seorang wartawan dan di bawah naungan sang ibu cenderung terbuka dan sekuler. Nadira bebas secara ideologis, maka ia menambatkan karirnya sebagai seorang wartawan yang penuh dengan gairah keingintahuan dan petualangan intelektual. Hingga suatu hari, tewasnya Kemala mempengaruhi kehidupan Nadira sebagai seorang anak, seorang wartawan, seorang kekasih, juga berpengaruh ketika ia menjadi seorang Istri. Kisah dalam novel ini penuh dengan tragedi yang menggoncang, dalam istilah Haruki Murakami, “membuat sekrup-sekrup otak agak longgar” yang tak jarang bisa berujung pada keputusan mengakhiri hidup.
Novel ini juga memasukan konflik-konflik yang berat secara psikologis. Nampaknya Leila memang berusaha menyuguhkan konflik keluarga bukan semacam masalah remeh-temeh dan klise macam sineteron di tv. Ia juga bicara tentang isu-isu feminis yang sedikit-banyak tersirat dari transisi Kemala dari seorang pengagum Simon de Beauvoir, lalu harus menjadi seorang ibu dari 3 anak dan menekan hasrat-hasrat muda dan bebas. Nuansa feminis juga terasa dari pembangunan karakter Nina juga Nadira yang tidak terikat dengan tradisi lokal dan bebas menggapai pendidikan. Nuansa elitis pun sungguh terasa karena banyak bercerita tentang lingkungan-lingkungan intelektual di luar negeri, yang berangkali belum begitu akrab dengan sebagian besar pembaca, khususnya remaja dewasa ini.
Isu-isu politis pun disisipkan secara tersirat dalam lantunan kisah novel ini, mulai dari demo mahasiswa ’66, Malari, tentang NKK/BKK, premanisme/mafioso di era orde baru, hingga isu hangat seputar 9/11 serta wacana Wars Againts Terorism. Tak luput pula masalah keluarga di era metropolitan, di mana ego suami-istri banyak berbenturan.
Sebetulnya banyak poin yang bisa dikupas dari novel ini, termasuk pula kajian dari sudut pandang filsafat semisal dengan menyuguhkan wacana psikoanalisisnya Freud tentang bawah sadar, nuansa kelam ala Camus, juga tentang ekstensialisme yang tergambar dari Nadira yang melarutkan kecemasan dengan menggeluti karya atau karir. Adapun wacana feminisme kiranya menjadi semen perekat dalam bangunan novel ini. Tiada yang salah, dan semuannya tampak begitu menarik.
Di balik semua wacana yang disuguhkan, justru saya tertarik dengan romantika “pahit” antara Utara Bayu sang redaktur majalah Tera(semacam itu klo tak salah) dengan anak buahnya; Nadira yang terkena goncangan hebat dalam hidup. Hubungan rumit antara Nadira yang tak sadar akan rasa kasih Utara Bayu, Nadira yang lebih banyak tenggelam dengan gelapnya goncangan batin dan Utara Bayu yang tak kuasa bicara, lebih banyak mendiam dan sabar, hingga Nadira pun digondol orang lain. Mengutip pernyataan Seno Gumira Ajidarma, Leila tak hanya berkisah tentang hubungan romantik, melainkan betapa manusia menjalani kehidupannya dengan rasa, dengan hati, yang tak selalu dimanjakan oleh dunia kita sekarang ini.
Dalam novel 9 dari Nadira penulis menggunakan pilihan kata dan gaya bahasa yang sangat mempesona pembacanya. Banyaknya majas metafora yang dimainkan, menjadikan novel ini indah dalam segi bahasa. Majas metafora sendiri merupakan gaya bahasa yang membandingkan suatu benda tertentu dengan benda lain yang mempunyai sifat sama. Ini dapat terlihat pada kutipan cerita berikut:

Hidup Nadira memang tengah berwarna merah jambu. Kolong meja kerjanya kini bersih, karena pak satimin dengan mudah bisa menyapu dan mengepel. Nadira sudah lama tak bergelung disana. Hidup Nadira menjadi merah jambu, karena dia kini tidur teratur dan bangun dari tempat tidur yang nyaman dengan dua buah bantal dan satu guling yang setia memberinya kehangatan. (halaman 142)

Maksud kata “merah jambu” dalam kutipan diatas bukan berarti sebenarnya sebagai warna. Namun yang dimaksud dalam kutipan tersebut adalah tokoh Nadira sedang jatuh cinta. Itu dapat terbukti dari kutipan berikutnya :

Tara bisa melihat itu. Seluruh isi kantor bisa melihat itu.
Itulah sebabnya Tara tak ingin mempersoalkan hubungan Nadira dengan lelaki yang nampaknya mampu mengangkat batu myang selama bertahun-tahun menindih hati Nadira. (halaman 142)

Namun dalam hal ini Metafora yang digunakan Leila S. Chudori tidak semata-mata demi menciptakan narasi yang indah dan puitis, tetapi justru menegaskan fakta psikologis tokohnya. Pemilihan kata yang digunakan pun banyak menggunakan idiom-idiom yang mempercantik bahasanya.
     
Ada sembilan cerita yang Leila S.Chudori yang dimulai dengan “mencari seikat seruni” sampai “At Pedder Bay”. Cerita pertama merupakan pintu gerbang menuju cerita-cerita selanjutnya. Dimulai dengan kematian sang ibu –Kemala- yang mati bunuh diri. Dan kisah kesembilan yang menceritakan bercerai-berainya keluarga itu.

Sebenarnya maksud yang dituju oleh penulis adalah komunikasi yang mestinya penting dibangun dalam sebuah keluarga. Apa yang terjadi pada keluarga Nadira merupakan kurangnya komunikasi tiap anggota keluarga yang menjadikan keluarga itu bercerai berai dan ibunya yang memutuskan untuk bunuh diri.

Selain itu ketidak sadaran orang terhadap orang-orang terdekat menjadi masalah yang disoroti dalam novel ini. Para tokoh cenderung memikirkan orang yang jauh dari dirinya dibandingkan dengan orang yang ada disekitarnya. Ini bisa tergambar dari tokoh nadira yang lambat menyadari kalau dalam hatinya ada sosok Tara, teman sekantornya. Dan kini Tara sudah memutuskan menikah dengan Novena yang juga teman sekantornya.

Buku cerita 9 dari Nadira, karya Leila S Chudori dikatakan sebagai antologi cerpen dan sekaligus sebagai novel. Karena, struktur atau kerangka kerja yang digunakan Leila, mendekati konsep cerpen dan novel. Cerita yang dibangun lekat dengan konsep novel. Fragmen-fragmen yang ada saling kait mengait. Dan apa yang dikerjakan Leila melalui bukunya ini merupakan pembaruan di ranah sastra Indonesia, khususnya cerpen dan novel.

Dapat dikatakan sebagai pembaharuan karena Plot dalam novel 9 dari Nadira menampilkan teknik-teknik sorot balik, cerita dimulai dengan kejadian yang seolah-olah sudah didahului oleh peristiwa lain.

Penataan kesembilan kisah dalam 9 dari Nadira, jelas sekali tidak sekadar diurutkan begitu saja. Leila S. Chudori menggunakan pola kilas balik yang menghancurkan urutan waktu. Setiap kisahan tidak hanya dapat berdiri sendiri.

Oleh karena itu novel ini dapat dikatakan sebagai pembaharuan karena menghancurkan teori-teori yang bersikukuh pada konsep.

Namun, penyair dan esais, Jakarta Handoko F. Zainsam, menolak jika buku 9 dari Nadira adalah pembaruan. Menurutnya, jauh sebelum Leila meluncurkan karyanya, sastra Indonesia telah memiliki cerita bersambung (cerbung). Dan Handoko menyebut buku Leila tersebut sebagai cerita bersambung. Bukan antologi cerpen yang juga sebuah novel, begitu sebaliknya.

Munculnya polemik disekitar masyarakat mengenai novel ini merupakan pengaruh yang ditimbulkan novel 9 dari Nadira.














ga] - t r  laparan juga dapat membuat seseorang menjadi pemberontak dan menjadi pembunuh. Jika kita lihat berita-berita di televisi, seseorang tega menghabisi rekan atau sanak saudaranya sendiri kebanyakan disebabkan oleh orang-orang miskin yang kesulitan ekonomi dan pastinya lapar. Mengapa dalam puisi tersebut digambarkan orang miskin? Itu disebabkan karena kebanyakan orang yang kelaparan adalah orang miskin dan orang kaya tidak pernah merasakan apa itu kelaparan. Kelaparan juga digambarkan seperti batu karang yang tenang tetapi dapat melahap siapa saja.

Seorang pemuda yang gagah akan menangis tersedu
melihat bagaimana tangannya sendiri
meletakkan kehormatannya di tanah
karena kelaparan


Dari bait diatas, dapat kita lihat jikalau kelaparan juga membuat seseorang yang gagah dapat menangis. Intinya kelaparan dapat merusak siapa saja, tua-muda ataupun gagah-lemah. Tak peduli bagaimana kehormatan itu yang penting kenyang.




1 komentar:

  1. Taipan Indonesia | Taipan Asia | Bandar Taipan | BandarQ Online
    SITUS JUDI KARTU ONLINE EKSKLUSIF UNTUK PARA BOS-BOS
    Kami tantang para bos semua yang suka bermain kartu
    dengan kemungkinan menang sangat besar.
    Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
    Cukup Dengan 1 user ID sudah bisa bermain 7 Games.
    • AduQ
    • BandarQ
    • Capsa
    • Domino99
    • Poker
    • Bandarpoker.
    • Sakong
    Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
    Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
    customer service kami yang profesional dan ramah.
    NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
    Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
    Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
    • FaceBook : @TaipanQQinfo
    • WA :+62 813 8217 0873
    • BB : D60E4A61
    Come & Join Us!!

    BalasHapus