Sabtu, 19 Maret 2011

Gemuruh Perpolitikan dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Sorga Bagi Si Buta

Latar Belakang
Karya sastra merupakan hasil cipta atau karya manusia yang bersifat. imajinatif. Sebagai hasil yang imajinatif sastra berfungsi sebagai bahan bacaan yang menyenangkan, di dalamnya sarat dengan nilai- nilai budaya dan berguna menambah kekayaan batin bagi permasalahan manusia, kemanusiaan dan kehidupan (Nurgiyantoro, 1994: 2).
Kehadiran karya sastra dapat membawakan semacam rasa dan persepsi tentang kehidupan oleh pembacanya seperti pengalaman yang member pembaca kesadaran dan pengertian besar tentang dunianya. Dengan kata lain melalui karya-karya sastra itulah manusia menggunakan sebagai cermin dalam memaknai dan memahami kehidupan. Ada berbagai bentuk karya sastra, salah satunya yaitu novel yang dikisahkan kehidupan tokoh yang penuh pertikaian, peristiwa yang mengharukan atau menyenangkan dan mengandung kesan yang tidak mudah dilupakan. Karya sastra pada umumnya berisi tentang permasalahan yang melengkapi kehidupan manusia. Permasalahan itu dapat berupa permasalahan yang terjadi dalam dirinya sendiri. Karena itu, karya sastra memiliki dunia sendiri yang merupakan hasil dari pengamatan sastrawan terhadap kehidupan yang diciptakan sastrawan itu sendiri baik berupa novel, puisi, maupun drama yang berguna untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat.

Di Indonesia, perkembangan karya sastra sangat membanggakan. Dewasa ini banyak sekali diterbitkan novel mutakhir dengan berbagai macam tema dan isinya. Pada dasarnya novel yang diterbitkan merupakan gambaran kehidupan sosial masyarakat dari berbagai aspeknya. Berbeda dengan novel-novel dahulu, novel terbitan sekartang rata-rata pengarangnya adalah wanita, yang menonjolkan tokoh wanita sebagai tokoh utama. Namun, selain itu ada pula novel yang berisi mengenai suatu kehidupan masyarakat yang tokohnya juga wanita. Contohnya Para Priyayi, Pengakuan Pariem, Ronggeng Dukuh Paruk.



1


Berbeda dengan Novel Sorga Bagi Si Buta Karya Duong Thu Huong yang berasal dari Vietnam. Duong Thu Huong (lahir 1947) adalah seorang penulis Vietnam dan pembangkang politik.Sebelumnya seorang anggota Partai Komunis Vietnam, dia diusir dari partai pada 1989 dan Telah Ditolak Hak bepergian ke luar negeri, dan dipenjarakan untuk tulisan-tulisan dan kritik lantangsementarakorupsidalampemerintahanVietnam. 

Dia pertama novel, Journey di Pendidikan Anak Usia (Hanh Trinh ngày tho Au, 1985), Beyond Illusions (Ben kia bo Ao Vong, 1987), [1] Sorga bagi si Buta (Nhung Thien Mu đường, 1988) [2] dan The Lost Life (Quang đời đánh tikar, 1989) Apakah diumumkan dalam nya asli dan segera Vietnam Menjadi buku terlaris di Vietnam sebelum Mereka Apakah dilarang. Yang ketiga adalah novel Vietnam pertama yang pernah juga diterbitkan dalam bahasa Inggris di Amerika Serikat. [3] Tapi kembali berikutnya tiga buku - Novel Tanpa Nama (Tieu thuyết VO DJE,1991), [4] Kenangan dari Spring Murni (2000 ), [5] dan No Man's Land (Chon moncong, 2002) [6] - Telah diterbitkan di Luar Negeri dan membuat Ksatria des Ordre Arts et Lettres des oleh pemerintah Perancis (1994) [7]. Dia sebelumnya menulis sejumlah cerita pendek dan skenario. Satu cerita, "Reflections Musim Semi," diterjemahkan oleh Linh Dinh dan disertakan dalam antologi, Malam, Sekali lagi: Fiksi Kontemporer dari Vietnam (Seven Stories Press 2006). Novel terbaru No Man's Land (Terre des oublis dalam bahasa Perancis).
PEMBAHASAN

Sesungguhnya saya kesulitan menemukan kata pujian yang tepat untuk novel ini. Sebuah drama kehidupan seorang perempuan cantik bernama Srintil yang harus berakhir tragis. Kisah yang menguras habis emosi saya. Dahsyat...

Karya terbaik Ahmad Tohari ini merupakan novel trilogi. Masing-masing berjudul : Catatan Buat EmakLintang Kemukus Dini Hari dan Jentera Bianglala. Ketiganya pertama kali diterbitkan secara terpisah. Oleh PT Gramedia Pustaka Utama diterbitkan kembali menjadi satu novel panjang berjudul Ronggeng Dukuh Paruk.

Dukuh Paruk adalah sebuah dusun kecil di Jawa Tengah (saya tidak tahu pasti, dukuh ini benar-benar ada atau hanya rekaan penulisnya saja) yang hidup dengan kemandirian sejak awal kelahirannya. Ia eksis dengan segala sumpah serapah cabul, kepercayaan pada mistik dan takhyul, norma-norma seksual yang longgar serta kemelaratan abadi. Terpencil dari segala hiruk-pikuk kota besar, orang-orang Dukuh Paruk adalah manusia-manusia lugu yang percaya pada pengaturan alam. Percaya pada karma. Percaya bahwa segala sesuatu di dunia ini berpasang-pasangan, berkebalikan. Kesenangan berpasangan dengan kesedihan. Terang dengan gelap. Malam dengan siang.

Di sanalah Srintil terlahir sebagai ronggeng sejak berusia dua belas tahun. Telah lama sejak kematian ronggeng sebelumnya, Dukuh Paruk tak lagi memiliki ronggeng. Maka ketika alam mendaulat Srintil menjadi ronggeng, segenap penghuni dusun sederhana itu menyambutnya dengan penuh rasa syukur dan kegembiraan. Dunia kecil mereka akan kembali hidup.

Ronggeng di Dukuh Paruk bukan sekedar menari sambil menembang lagu-lagu diiringi irama musik calung yang meriah meliuk-liuk, namun juga berarti melayani para lelaki yang ingin tidur dengannya. Sudah begitu tradisinya. Dan Srintil melakukan semuanya dengan kesadaran penuh serta kebanggaan seorang perempuan menaklukkan banyak lelaki hanya dengan sampur dan kerlingan nakalnya. Tak ada yang tabu bagi seorang ronggeng secantik dirinya melakoni semua itu. Orang-orang di Dukuh Paruk bangga memilikinya, ronggeng cantik dan terkenal. Tak ada kecemburuan para istri, justru kebanggaan bila suami mereka bisa bertayub atau tidur bersama Srintil. Hanya ada seorang pemuda yang menentangnya. Ialah Rasus. Ia tak rela Srintil, kawan kecilnya, menjadi ronggeng. Karena itu berarti Srintil menjadi milik umum. Menjadi milik banyak lelaki. Rasus cemburu.

Dalam buku pertama (Catatan Buat Emak), Rasuslah yang berkisah sebagai aku. Melalui mata seorang bocah lelaki duabelas tahun, ia mengisahkan keberadaan tanah air kecilnya dengan segala keunikan tradisi yang telah mengakar sekian lama tanpa seorangpun berniat mengubahnya. Termasuk kesenian ronggeng tersebut.

Maka pada malam dinobatkannya Srintil sebagai ronggeng - disebut malam bukak klambu - Rasus menjadi saksinya. Malam bukak klambu adalah bagian terpenting yang harus dilewati seorang ronggeng yang baru dinobatkan agar sah secara tradisi. Pada malam itu, ronggeng baru tersebut harus menyerahkan keperawanannya kepada seorang lelaki yang berani membayarnya dengan harga tertinggi. Sebuah tradisi konyol yang menempatkan perempuan pada posisi rendah : diperjualbelikan. Pelacuran memang telah ada sejak lama, bahkan di tingkat masyarakat paling primitif sekalipun. Ia sama tuanya dengan dunia ini.

Buku pertama lebih banyak berkisah tentang pencarian Rasus terhadap figur ibu yang tak pernah dilihatnya, di samping cerita awal Srintil menjadi ronggeng. Ibunya, sepeti juga orang tua Srintil, meninggal ketika ia masih belum bisa mengingat peristiwa apapun. Ia hanya tahu dari cerita nenek dan tetangga-tetangganya bahwa ibunya mati karena keracunan tempe bongkrek buatan ayah Srintil. Ia mencarinya dalam sosok teman kecilnya, Srintil. Dan Srintil telah menghancurkan citra ibu itu begitu dirinya memutuskan menjadi ronggeng.  Tak sanggup Rasus membayangkan ibunya sebagai ronggeng. Sama tak sanggupnya membayangkan ibunya lari dengan laki-laki lain. Ia pun pergi dari kampung yang melahirkannya dengan membawa segenap kekecewaan dan luka hati.

Buku kedua bercerita tentang sang ronggeng di puncak kejayaannya. Beribu pentas membawa Srintilke tangga ketenaran paling atas. Beribu lelaki menidurinya, memashurkan namanya, bermimpi berbagi berahi dengannya. Kesenangan hidup dengan cepat diraihnya. Sampai suatu ketika petaka itu datanglah. Saat itu tahun 1965, tahun penuh gejolak politik, tak terkecuali di Dukuh Paruk. Memanfaatkan kepolosan dan ketidaktahuan orang-orang Dukuh Paruk akan segala riuh rendah gemuruh perpolitikan, PKI menyebarkan propaganda di sana. Menggunakan  ketenaran Srintil untuk menghimpun massa di setiap rapat akbar partai tanpa dipahami sepenuhnya oleh gadis itu. Ia, Srintil, hanya tahu bahwa ia sekedar melakukan tugasnya sebagai ronggeng. Saat pecah huru-hara G 30 S/PKI, Srintilpun ditangkap, dianggap terlibat partai terlarang itu dan dipenjara selama dua tahun. Rasus yang telah jadi tentara, tak banyak diceritakan. Hanya sesekali muncul  lewat lintasan pikiran Srintil.

Buku ketiga adalah klimaks tragedi kisah ini. Penjara telah membuat Srintil (dan siapapun) kehilangan kepercayaan diri. Menjatuhkan martabat dan harga dirinya ke titik nadir. Srintil tak berani menatap lagi dunia di luar dirinya. Tak henti-hentinya dihantui rasa bersalah dan terhukum. Mengubahnya menjadi pemurung meski kecantikannya masih mampu menjerat para lelaki. Ia kini bukan lagi ronggeng. Ia ingin meninggalkan dunia masa lalunya.  Ia punya mimpi lain menjadi seorang istri dari seorang lelaki baik-baik. Tak ada lagi Srintil si penakluk lelaki. Yang tertinggal adalah seorang perempuan dengan kerinduan pada kehidupan normal. Seorang perempuan yang ingin menjadi manusia biasa. Namun, jalan lurus menuju kebaikan itu, amatlah terjal. Bahkan bagi perempuan dengan cita-cita sederhana seperti Srintil.

Ronggeng Dukuh Paruk adalah potret suram kehidupan rakyat kecil pedesaan di Jawa dengan segala persoalannya. Kelaparan dan kebodohan di sana adalah akibat kemiskinan yang terus mendera sepanjang waktu. Kondisi masyarakat seperti ini adalah lahan empuk bagi siapa saja yang ingin memanfaatkannya. Perut yang lapar gampang dibeli dengan imbalan uang dan materi. Kesulitan ekonomi dengan tingkat paling parah adalah ladang subur bagi penyebaran pengaruh dan ajaran-ajaran yang menjanjikan perubahan.

Novel luar biasa ini mengangkat beragam persoalan manusia, seperti : cinta, kemanusiaan, gender, tradisi, kebudayaan dan politik. Seluruhnya terjalin padu dalam sebuah kisah apik yang mengalir wajar tanpa paksaan. Dukuh Paruk adalah sebagian wajah negeri kita. Teramat banyak jumlah orang-orang miskin seperti di Dukuh Paruk itu menghuni pelosok-pelosok tanah air. Tak terjangkau. Tak tersentuh. Terpinggirkan selamanya.

Ahmad Tohari, terlepas dari ada atau tidaknya Dukuh Paruk yang sebenarnya, telah menggambarkan keberadaan desa tersebut  dengan sangat real. Ia begitu paham seluk-beluknya. Seperti ia sendirilah yang tinggal di sana. Kita seperti benar-benar bisa mencium bau tubuh orang-orang desa itu. Seperti benar-benar merasakan hembusan angin dan melihat gugurnya daun-daun bambu. Begitu nyata dan hidup. Penceritaan yang nyaris sempurna itu membuat kita dapat memaafkan kekeliruan-kekeliruan kecil seperti misalnya dari mana air susu Srintil berasal sehingga ia bisa  menyusui Goder, anak tetangganya,  padahal tidak pernah melahirkan? Atau saat menggambarkan bianglala pagi hari yang ada di langit timur. Kita bisa melupakannya dan menganggapnya sebagai satu kesalahan logika kecil yang tak berarti dari satu maha karya indah.

Berbeda dengan novel Sorga Bagi Si Buta Pada tahun 1987, Partai Komunis Vietnam menyerukan kepada para penulis dan jurnalis untuk menghilangkan kekakuan, gaya formal realisme sosialis yang telah dipaksakan kepada mereka, dan meneguhkan kembali peran mereka sebagai pemegang kontrol sosial. Dalam atmosfir keterbukaan inilah, sebagian sastrawan dan intelektual Vietnam meresponnya dengan beragam karya sastra, film, novel dan teater yang secara terang-terangan mulai melontarkan kritik atas kebijakan partai Komunis. Salah satunya adalah Duong Thu Huong, penulis Novel Tanpa Nama (2003), dengan dengan terang-terangan mengkritik kebijakan partai Komunis Vietnam. Pada tahun 1989 para pejabat partai konservatif Vietnam tiba-tiba menghentikan seruan tersebut dan mencanangkan kembali politik “ketertiban” dan menyensor buku-buku yang dianggap tidak sepaham. Novel-novel Duong Thu Huong menjadisasarankemarahanrezimkarenaitudilarangterbit.
Duong Thu Huong adalah sosok feminis sekaligus penulis penuh kontroversi. Melalui novel-novelnya, Huong tak henti-hentinya mengkampanyekan semangat keterbukaan dan menentang segala bentuk sensor yang dibuat oleh rezim penguasa. Novel Sorga bagi si Buta (Indonesiatera, Oktober 2004), adalah contoh novel yang secara spesifik mengkritik kebijakan-kebijakan partai Komunis yang memberlakukan kebijakan reformasi tanah yang dipaksakan kepada rakyat jelata. Mengambil setting di era 1980-an, dengan narator seorang perempuan muda Vietnam, Hang, novel ini mengalunkan kisah mencekam dan teror yang menakutkan. Sebagian besar novel ini bertempat dalam angan-angan Hang ketika ia tengah melakukan perjalanan dengan kereta api menuju Moskow untuk mengunjungi pamannya, Ho Chi Minh, seorang kader partai Komunis yang kelak menjadi musuhnya. Dari tempat kelahirannya, di sebuah desa kumuh di pinggiran sebelah utara Hanoi, Hang memulai kisah panjang tentang peristiwa revolusi, kediktatoran partai Komunis dan sikap sastrawan penganut realisme sosialis yang sering memaksakan kehendak.
Paman Chinh adalah kader yang bertanggungjawab bagi pendidikan ideologis di belahan utara kota Quang Ninh. Di mata kader partai Komunis, ideologi adalah profesi yang mulia, lebih tinggi dari segala-galanya. Guru dianggap sebagai orang terpelajar, yang menyalurkan pencerahan dan pemikiran berharga yang tak dapat dibeli dengan uang. Slogan-slogan mereka begitu elitis bagi kalangan petani dan pedagang kecil seperti ibu dan tetangga-tetangganya yang hanya butuh sesuap nasi untuk bisa bertahan hidup. Gerakan mogok massal, pertentangan kelas antara kapitalisme dengan komunisme, imperialisme, gerakan kaum buruh, gerakan revolusioner, Front Nasional dan sejenisnya, terdengar asing dan menakutkan bagi penduduk setempat.
Selama empat puluh lima tahun, Duong Thu Huong menyaksikan teror dan horor yang ditimbulkan oleh kampanye reformasi tanah. Kisah ini merupakan bagian permulaan yang paling besar menimbulkan kekecewaannya pada praktik pemerintah Komunis yang otoriter dan diktator. Sebagaimana digambarkan Duong, kampanye reformasi tanah (1953-1956)--yang sebagian besar terinspirasi oleh revolusi Cina yang dipimpin oleh Mao Zedong--telah memancing gelombang kekerasan: tindakan mengerikan para penduduk desa yang menggulingkan “tuan tanah” tetangga mereka, juga keluarga ayahnya, sebagian hanya karena memiliki tanah beberapa akre saja--telah ditangkap, dipermalukan dan diusir dari tanah moyangnya.
Di antara “tuan tanah” itu banyak yang merupakan penduduk desa yang baik, orang-orang yang hanya sedikit memiliki tanah, yang menghargai ladang padinya sebagai darah daging mereka sendiri, hanya dengan satu pernyataan yang kejam mereka tersingkir, terlempar dari sekadar penonton tak berdosa menjadi pihak tertuduh. Teror yang ditimbulkan oleh pengikut partai Komunis telah menelan korban ratusan ribu nyawa. Ironisnya, kampanye idologi yang hendak menghapus sistem kepemilikan pribadi, ternyata diikuti oleh hasrat menumpuk kekayaan dari kaum elit partai. Sebagian lainnya mengambil keuntungan dibalik kesempitan mereka yang terguling. Karena itu, slogan-slogan “demi perbaikan ekonomi kaum proletar”, “tuan tanah musuh abadi kaum tani”, “hidup proletariat”, “gayang para borjuis” , “kepalkan tangan” adalah slogan-slogan yang terdengar klise dan kehilangan daya sihirnya.
Absurdnya reformasi tanah dan kampanye ideologi patai Komunis telah menimbulkan berbagai dampak psikologis yang patal bagi penduduk setempat. Bagi Duong Thu Huong, yang berasal dari keluarga kelas pekerja dan sempat menjadi anggota partai Komunis itu sendiri, Vietnam menjadi negeri yang dilanda rasa takut yang mencekam, dimana darah seorang telah berubah menjadi putih lantaran perang yang berkepanjangan, sempoyongan di jurang kelaparan, dan tiba-tiba harus mempertahankan diri mereka melawan pemimpin mereka sendiri. Huong dengan lantang mengutip teriakan-teriakan dan khotbah-khotbah para kader partai Komunis dengan penuh semangat. Ada sikap marah, kecewa dan terkadang terdengar putus asa menghadapi orang-orang yang menghamba pada sebuah ideologi licik dan pengecut yang menghalalkan segala cara. Itulah sikap yang ditunjukkan oleh paman Chinh yang ternyata tak kalah rakusnya dari kaum elit borjuis lainnya, hidup dan tinggal di rumah mewah di atas penderitaan orang lain.
Ketika pemerintahan Viet Minh mulai mendengar kritik dan teror yang disebabkan oleh kampanye-kampanye partai Komunis yang dianutnya, dia mengumumkan permintaan maaf, mengakui bahwa reformasi tanah adalah sebuah “kesalahan” dan mengelompokkan para petani kembali melalui kampanye “Perbaikan Kesalahan”. Mereka yang selamat dari kamp buruh dikirim kembali ke desa mereka di bawah perintah untuk “memaafkan dan melupakan”. Dengan ketajaman nalurinya, ajakan untuk memafkan kesalahan dari rezim yang berkuasa tetap belum mampu melupakan ingatan akan betapa pedih masa lalu keluarganya . Meski secara de facto, hidup yang dialami Huong jauh lebih bebas dari tahun-tahun ketika perang dan pertentangan ideologi dirayakan, kenyataan pahit tetap menjadi memori kolektif yang sulit dilupakan. Duong Thu Huong dan kisah dalam novel ini, betapa pun pedih pada awalnya, ia tetap menjadi ikon bagi pejuang hak asasi manusia di Vietnam. Huong adalah seorang feminis yang terluka oleh perang dan pertentangan ideologi yang tak kenal menyerah. Kejujuran dan keberaniannya, tak jarang menjadi sesuatu yang menakutkan bagi rezim yang sedang berkuasa. Novel-novel Huong menjadi saksi sejarah betapa ideologi dan politik tak selamanya bisa diserbatunggalkan.
Hingga saat ini, ada tiga novel karya Duong Thu Huong yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia; Novel Tanpa Nama (2003), mengisahkan gambaran yang liris dan subtil tentang orang-orang 'tanpa nama' dalam perang berabad-abad dan tanpa akhir di Vietnam. Novel Sorga bagi si Buta (2004) dan Menembus Mimpi Hampa (2004), mengisahkan perjalanan pahit dua orang perempuan yang hidup di tengah-tengah huru-hara perang dan pertentangan ideologi politik yang berlarut-larut. Juga penderitaan sebagian perempuan Vietnam dalam menghadapi dominasi ideologi patriarkal yang meletakkan perempuan di bawah subordinasi laki-laki, menjadisisipankisahindahsekaligusmenggugah.
Buku Novel Tanpa Nama konon mendapat sambutan luar biasa di Vietnam. Namun, di sini, novel yang diterbitkan hampir dua tahun lalu, dengan mudah masih kita temukan di rak-rak toko buku. Novel Sorga bagi si Buta dalam versi Inggrisnya, konon terjual 40. 000 eksemplar. Novel Menembus Mimpi Hampa dalam waktu yang tak sampai dua pekan, sudah habis terjual 60. 000 eksemplar. Sebuah prestasi yang gemilang yang jarang ditemukan di negeri ini. Betapa pun indah dan kuat pesan moral yang ditawarkan Duong Thu Huong dalam novel-novel terjemahan ini, dari segi tematis, tak ada yang baru. Tema pertentangan kelas dan ideologi Komunisme sudah banyak digarap oleh para sastrawan, politikus dan kaum cerdik-cendikia lainnya. Sekedar menyebut beberapa contoh, buku Milovan Djilas (The New Class), adalah buku debutan yang meramalkan komunisme akan hancur karena ia mengabdi kepada kepentingan kelas pelaksana (aparatchik), terbukti sudah. Czeslaw Milosz (The Captive Mind), penulis Polandia ini mendeskripsikan hilangnya kebebasan bangsa dan manusia Polandia. Maka menurutnya, betapa nyeri proses penyesuaian diri para intelektual dan seniman terhadap konsepsi kekuasaan totaliter di negara-negara Eropa Timur, yang jatuh ke dalam orbit kekuasaan Uni Soviet setelah Perang Dunia. Padahal negara-negara Eropa Timur itu dulunya adalah bangsa-bangsa yang bebas, dan nasionalisme mereka sendiri yang kuat dan teguh seperti Polandia,, Hongaria, Cekoslowakia, dan sebagainya. Buku dalam tema yang sama, namun terhitung masih baru, adalah novel Arundhaty Roy (The God of Small Things), sebuah novel debutan yang sempat heboh lantaran kritiknya ataspartaiKomunisIndia.
Pengamatan Djilas, Milosz dan Arundhaty Roy sebenarnya sudah didahului oleh sebuah pandangan lain dari Antonio Gramsci, seorang teoritikus komunis Italia yang meninggal dunia tahun 1927. Ia mengajukan kritik pedas kepada gerakan komunis waktu itu, yang telah kehilangan pesonanya lantaran mencampakkan spiritualitas dan wajah kemanusiaan. Namun konteks dan sudut pandang yang berbeda, membuat tema semacam ini tetap layak diapresiasi dan menarik untuk terus didiskusikan, menjadi bahan refleksi betapa bahayanya ideologi yang menghamba pada kepentingan kelas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar