Sabtu, 19 Maret 2011

TRADISI MERAJAH TUBUH DI SUKU MENTAWAI DIHANCURKAN SECARA SISTEMATIS

 Latar Belakang
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.[1] Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian,bangunan, dan karya seni.[1] Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.[1]
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.[2]
Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang dari budaya lain terlihat dalam definisi budaya:Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya sendiri."Citra yang memaksa" itu mengambil bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya seperti "individualisme kasar" di Amerika, "keselarasan individu dengan alam" d Jepang dan "kepatuhan kolektif" di Cina. Citra budaya yang brsifat memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka.
Dengan demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan perilaku orang lain.
Asumsi Kajian Budaya
1.      Budaya tersebar didalam dan menginasi semua sisi perilaku manusia. Berbagai norma, ide dan nilai dan bentuk-bentuk pemahaman di dalam sebuah masyarakat yang membantu orang untuk menginterpretasikan realitas mereka adalah bagian dari ideologi sebuah budaya. Hall (1981), ideologi merujuk pada “gambaran konsep, dan premis yang menyediakan kerangka pemikiran dimana kita merepresentasikan, menginterpretasikan, memahami dan memaknai” beberapa aspek eksistensi sosial. Hall yakin bahwa ideologi mencakup bahasa, konsep, kategori yang dikumpulkan oleh kelompok-kelompok sosial yang berbeda untuk memaknai lingkungan mereka. Graham Murdock (1989) menekankan ketersebaran budaya dengan menyatakan bahwa “semua kelompok secara konstan terlibat dalam menciptakan dan menciptakan ulang system makna dan memberikan bentuk kepada makna ini dalam bentuk-bentuk ekspresif, praktik-praktik sosial, dan institusi-institusi”. Secara menarik dan dapat diduga, Murdock melihat bahwa menjadi bagian dari komunitas budaya yang beragam sering mengakibatkan pergulatan makna, interpretasi, identitas dan control. Pergulatan-pergulatan ini atau perang budaya menunjukkan bahwa seringkali terdapat pemisahan-pemisahan yang dalam persepsi mengenai pentingnya suatu isu atau peristiwa budaya. Makna dalam budaya dibentuk oleh media. Michael Real (1996) berpendapat “media menginvasi runga kehidupan kita, membentuk selera dari mereka yang berada disekitar kita, memberikan informasi dan mempersuasi kita mengenai produk dan kebijakan, mencampuri mimpi pribadi dan ketakutan publik kita, dan sebagai gantinya, mengundang kita untuk hidup didalam mereka.”

2.       Orang merupakan bagian dari struktur kekuasaan yang bersifat hierarkis. Kekuasaan bekerja didalam semua leel kemanusiaan (Grossberg, 1989), dan secara berkesinambungan membatasi keunikan identitas (Weedon, 2004). Makna dan kekuasaan berkaitan erat, “makna tidak dapat dikonseptualisasikan diluar bidang permainan dari hubungan kekuasaan” (Hall, 1989). Dalam kaitannya dengan tradisi Marxis, kekuasaan adalah sesuatu yang diinginkan oleh kelompok sub-ordinat tetapi tidak dapat dicapai. Seringkali terjadi pergulatan untuk kekuasaan, dan pemenangnya biasanya adalah orang yang berada dipuncak hierarki sosial. Mungkin sumber kekuatan yang paling mendasar didalam masyarakat adalah media. Dalam budaya yang beragam, tidak ada institusi yang harus memiliki kekuasaan untuk menentukan apa yang di dengar oleh publik. Gery Woodward (1997) juga menarik kesimpulan serupa ketika ia menyatakan bahwa terdapat sebuah tradisi dimana jurnalis bertindak sebagai pelindung dari kegiatan budaya bangsa: jika media menganggap sesuatu untuk memiliki nilai yang penting, maka sesuatu tersebut penting: suatu peristiwa yang sebenarnya tidak penting menjadi penting.

 Pembahasan
1.1  Memandang Tradisi dari Sudut Pandang Budaya

Stanley Baran dan Dennis Davis (2003) menyimpulkan bahwa “media telah menjadi alat utama dimana kita semua mengalami atau belajar mengenai banyak aspek mengenai dunia disekitar kita. Tetapi, cara yang digunakan media dalam melaporkan suatu peristiwa dapat berbeda secara signifikan. Kajian budaya adalah perspektif teoritis yang berfokus bagaimana budaya dipengaruhi oleh budaya yang kuat dan dominan. Stuart Hall (1981, 1989) menyatakan bahwa media merupakan alay yang kuat bagi kaum elite. Media berfungsi untuk mengkomunikasikan cara-cara berfikir yang dominan, tanpa mempedulikan efektifitas pemikiran tersebut. Media merepresentasikan ideologi dari kelas yang dominan didalam masyarakat. Karena media dikontrol oleh korporasi (kaum elite), informasi yang ditampilkan kepada publik juga pada akhirnya dipengaruhi dan ditargetkan dengan tujuan untuk mencapai keuntungan. Pengaruh media dan peranan kekuasaan harus dipetimbangkan ketika menginterpretasikan suatu budaya.

Warisan Marxis: Kekuatan bagi Masyarakat
Filsuf Karl Marx (1963) dihargai sebagai orang yang mampu mengidentifikasi bagaimana mereka yang memiliki kekuasaan (kaum elite) mengeksploitasi yang lemah (kelas pekerja). Marx percaya bahwa keadaan lemah dapat menuntun pada terjadinya alienasi (kondisi psikologis dimana orang mulai merasa bahwa mereka memiliki sedikit control terhdap masa depan mereka). Salah satu keinginan Marx adalah memastikan bahwa tindakan revolusioner dari kaum proletariat dapat dilakukan untuk memutus mata rantai perbudakan dan untuk mmengurangi alienasi di dalam masyarakat yang kapitalistik Penerapan prinsip-prisnsip Marxis apada kajian budaya cuma samapai pada batasan tertentu saja (neo-marxis), yaitu: (1) mereka yang ada dalam kajian budaya telah menginterogasikan berbagai macam perspektif kedalam pemikiran mereka, termasuk perspektif dari kesenian, humaniora, dan ilmu sosial. (2) para teoritikus kajian budaya juga memasukkan kelompok marginal yang tidak memiliki kekuasaan tambahan, tidak terbatas pada para pekerja saja.

Hegemoni: Pengaruh Terhadap Masa
Hegemoni dapat didefinisikan sebagai pengaruh, kekuasasan, atau dominasi dari sebuah kelompok sosial terhadap yang lain. Antonio Gramsci mendasarkan Hegemoni pada pemikiran Marx mengenai kesadaran palsu (orang tidak sadar akan adanya dominasi didalam kehidupan mereka). Gramsci berpendapat bahwa khalayak dapat dieksploitasi oleh system sosial yang juga mereka dukung (secara financial). Gramsci merasa bahwa kelompok-kelompok yang dominan didalam masyarakat berhasil mengarahkan orang menjadi tidak waspada. Persetujuan adalah komponen utama dari Hegemoni. Serta kita mengetahui, budaya korporat sekarang ini menekankan pengambilan keputusan untuk persetujuan sering didominasi oleh kelompok yang dominan.
Hegemoni Tandingan: Masa mulai Mempengaruhi Kekuatan Dominan
Khalayak tidak selalu tertipu untuk menerima dan mempercayai apapun yang diberikan oleh kekuatan dominan. Khalayak terkadang juga akan menggunakan seumber daya dan strategi yang sama seperti yang digunakan oleh kelompok sosial yang dominan. Hingga pada batas tertentu, individu-individu akan menggunakan praktik-praktik dominasi Hegemonis yang sama untuk menantang dominasi yang ada (hegemoni tandingan). Hegemoni tandingan penting dalam kajian budaya sebab menunjukkan bahwa khalayak tidak selamanya diam dan menurut. Maksudnya, didalam hegemoni tandingan, para peneliti berusaha untuk memperbesar volume suara yang selama ini dibungkam. Pemikiran mengenai hegemoni tandingan sebagai suatu titik dimana individu-individu menyadari mengenai ketaatan mereka dan berusaha melakukan sesuatu mengenai hal tersebut.

Pendekodean oleh Khalayak
Pendekodean sangat penting didalam kajian budaya. Para teoritikus berpendapat bahwa publik harus dilihat sebagai bagian dari konteks budaya yang lebih besar, sebuah konteks dimana mereka yang berjuang untuk menyuarakan diri mereka sedang di tindas (Budd dan Steinmann, 1992) karena seperti yang kita tahu mereka secara tidak sadar menaati pesan yang disampaikan oleh ideologi dominan. Ada tiga sudut pandang yang digunakan khalayak untuk melakukan pendekodean pesan, yaitu :

1. Posisi dominan – hegemonis, hal ini berpendapat bahwa indiidu-individu bekerja didalam sebuah kode yang mendominasi dan menjalankan kekuasaan yang lebih besar daripada lainnya.
2. Posisi ternegosiasi, hal ini berpendapat bahwa anggota khalayak dapat menerima ideologi dominan tetapi akan bekerja dengan beberapa pengecualian terhadap aturan budaya.
3. Posisi oposisional, hal ini berpendapat bahwa anggota khalayak mensubtitusikan kode alternatif bagi kode yang disediakan oleh media.

1.2  Tradisi Tato Mentawai Dihancurkan Secara Sistematis

Suku Mentawai  adalah penghuni asli Kepulauan Mentawai. Sebagaimana suku Nias dan suku Enggano, mereka adalah pendukung budaya Proto-Melayu yang menetap di Kepulauan Nusantara sebelah barat. Daerah hunian warga Mentawai, selain di Mentawai juga di Kepulauan Pagai Utara dan Pagai Selatan. Suku ini dikenal sebagai peramu dan ketika pertama kali dipelajari belum mengenal bercocok tanam. Tradisi yang khas adalah penggunaan tato di sekujur tubuh, yang terkait dengan peran dan status sosial penggunanya.

Tradisi rajah atau dalam bahasa Mentawai titi merupakan salah satu bentuk pengungkapan jati diri dan identitas orang Mentawai yang telah diwariskan leluhur mereka secara turun-temurun. Tato Mentawai merupakan bentuk seni rupa tradisional yang sangat terkenal di dunia, namun kini di daerah asalnya terancam kepunahannya. Jika kita berkunjung ke pulau Pagai dan Sipora, di sana kita tidak lagi menemukan orang-orang Mentawai yang melanjutkan tradisi tato dan ritual-ritual Arat Sabulungan hanya tinggal carita dari leluhur di masa-masa yang telah berlalu.

Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan adalah tiga pulau di mana orang Mentawai yang berdiam di sana tak lagi menato dirinya sejak 1950-an. Menurut Urlik, di Pulau Sipora yang orang Mentawainya kini sekitar 8.000 jiwa, yang masih memiliki tato tak lebih dari 10 orang. Tiga laki-laki dan selebihnya perempuan. Usia mereka di atas 70 tahun.

Hal yang sama juga terjadi di Pagai. Meski dihuni lebih 11.000 orang Mentawai, yang masih memiliki tato juga tak lebih dari 10 orang. Mereka juga berumur di atas 70 tahun.

"Bisa dipastikan, dalam 20 tahun ke depan tidak akan ada lagi orang Mentawai Sipora dan Pagai yang memiliki tato di tubuhnya," katanya.

Ada beberapa penyebab, menurut Urlik, kenapa tato hilang di Sipora dan Pagai. Pertama, ajaran agama yang melarang kepercayaan Arat Sabulungan, kepercayaan kepada roh-roh, dan menganggap tato bagian dari kepercayaan itu.

Kedua, upacara membuat tato diawali dengan rangkaian upacara lain yang lama (paling cepat enam bulan) dan banyak pantangan (larangan). Upacara ini disebut ‘punen'. Karena itu banyak orang Mentawai yang tidak ingin menjalankannya karena sangat berat.

Ketiga, ada rasa malu bagi orang Mentawai, terutama yang bersekolah ke luar daerah untuk menato dirinya, karena dianggap orang lain sebagai lambang keterbelakangan dan primitif. Kelompok orang Mentawai modern ini merasa lega terlepas dari budaya Arat Sabulungan.

Malu Karena Tidak 'Bulepak'

Protestan yang masuk ke Mentawai sejak 1901, menurut Urlik, merupakan agama yang paling keras melarang kepercayaan lama orang Mentawai dibanding Katolik yang masuk sejak 1955 dan Islam sejak 1952. Karena itu, Sipora dan Pagai yang mayoritas memeluk agama Protestan lebih cepat hilang kebudayaannya, termasuk tradisi tato.

"Saya masih ingat waktu kecil ada orang Mentawai bertato yang diusir dari jemaat oleh pendeta," kata Urlik yang juga pendeta GKPM (Gereja Kristen Protestan Mentawai) Saurenuk, Sipora.

Untuk bisa menato diri, suatu suku di Sipora harus melakukan ‘punen' yang paling cepat menghabiskan waktu enam bulan. Punen dimulai dengan mendirikan uma (rumah adat khas Mentawai) dengan memotong sejumlah babi dan mengikuti berbagai pantangan. Di antaranya tidak boleh melakukan seks dengan istri, tidak boleh memandang wanita, tidak boleh makan dan minum sebelum acara makan dan minum bersama, dan sebagainya.

"Acara puncak punen adalah dengan melakukan perjalanan ke Pulau Siberut sebagai asal orang Mentawai, acara itu disebut ‘Bulepak', ke sana naik sampan sampai 40 orang, jika sudah kembali dengan selamat menempuh ombak yang besar dari Siberut dengan membawa manik-manik khas Siberut, maka semua warga suku sudah boleh menato diri," kata Urlik.

Upacara seperti inilah yang berat dilakukan orang Sipora. Menurut Urlik, acara ‘Bulepak' terakhir yang dilakuan orang Sipora pada 1950-an. Setelah itu tidak ada lagi orang Mentawai di Sipora yang melakukan itu. Akibatnya, mereka tidak berani menato diri, karena syaratnya tidak ada.

"Mereka malu menato diri karena tidak pernah ‘Bulepak', setelah itu tak ada lagi orang Sipora yang bertato, hal yang sama juga terjadi di Pagai," katanya.

Ditato Itu Sakit

Di Siberut, pulau terbesar di Kepulauan Mentawai dan merupakan pusat dan asal kebudayaan Mentawai, masih ada sejumlah kampung pedalaman yang masih menggunakan tato. Di kampung-kampung di Sarereiket, Ugai, Matotonan, Madobak, Simatalu, Sakudei, dan Simalegi penduduknya masih memakai tato.

Meski di beberapa kampung para pemuda dan gadis yang mulai dewasa tetap ditato tubuhnya, namun yang meninggalkan tradisi tato jauh lebih banyak. Umumnya mereka yang sudah berinteraksi dengan dua modern, seperti melanjutkan pendidikan ke SMP dan SMA yang hanya terletak di ibukota kecamatan atau ke Padang.

"Umumnya kampung-kampung yang tradisi tatonya masih ada adalah yang menganut Katolik, sebab Katolik lebih longgar dan tidak sekeras Protestan melarang mereka, tetapi anak-anak muda yang bersekolah tak lagi mau ditato," kata Urlik.

Tradisi bertato memang mulai ditinggalkan di Mentawai, seiring dengan pangaruh dunia luar. Jika dulu orang yang bertato dianggap sebagai lambang orang yang sehat dan kuat di Mentawai, kini anggapan itu telah beralih sebagai orang yang terbelakang.

"Ditato itu sakit dan lagian lambang primitif," kata Gerson Saleleubaja, 24 tahun, pemuda asal Maileppet, Siberut Selatan, yang kini menjadi jurnalis di Tabloid Puailiggoubat, sebuah koran lokal di Mentawai.

Terlepas dari itu, sebenarnya tato tradisional Mentawai adalah khazanah dunia. Ady Rosa, peneliti tato Indonesia dari Jurusan Seni Rupa, Universitas Negeri Padang, menyimpulkan bahwa tato Mentawai termasuk tato tertua di dunia.

Sayang, belum banyak yang meneliti jenis dan makna tato di Mentawai. Ady Rosa sendiri baru meneliti penggunaan tato pada orang Mentawai di sejumlah kampung di Siberut dan belum meneliti tato di Sipora dan Pagai. Padahal, menurut Urlik, tato Sipora dan Pagai memiliki perbedaan tertentu dari tato Siberut.

Misalnya, di Sipora ada tato tiga garis lengkung di pipi dan satu garis lurus dari dagu hingga leher. Tato-tato ini belum diteliti dan akan segera hilang karena pemakainya yang sudah uzur.

160 Motif Tato

Tato oleh orang Mentawai tak hanya berfungsi untuk keindahan tubuh, tetapi juga lambang yang menunjukkan posisi atau derajat orang yang memakainya.

Ady Rosa, peneliti tato dari Jurusan Seni Rupa, Universitas Negeri Padang menyimpulkan, seni tato yang oleh orang Mentawai disebut ‘titi' mulai dikenal di Mentawai sejak orang Mentawai datang antara tahun 1500 sampai 500 Sebelum Masehi. Mereka adalah suku bangsa protomelayu yang datang dari Yunan, kemudian berbaur dengan budaya Dongson.

"Tato di Siberut sudah jauh sebelum bangsa Mesir mulai membuat tato sekitar tahun 1300 SM, jadi bukan tato Mesir yang tertua di dunia, tapi tato Mentawai," katanya.

Ady Rosa dalam laporan hasil penelitiannya berjudul ‘Fungsi dan Makna Tato Mentawai' (2000) menyimpulkan, ada tiga fungsi tato bagi orang Mentawai. Pertama, sebagai tanda kenal wilayah dan kesukuan yang tergambar lewat tato utama. Ini semacam kartu tanda penduduk (KTP).

Kedua, sebagai status sosial dan profesi. Motif yang digambarkan tato ini menjelaskan apa profesi si pemakai, misalnya sikerei (tabib dan dukun), pemburu binatang, atau orang awam. Ketiga, sebagai hiasan tubuh atau keindahan. Ini tergambar lewat mutu dan kekuatan ekspresi si pembuat tato (disebut ‘sipatiti') melalui gambar-gambar yang indah.

Menurt Ady, ada sekitar 160 motif tato yang ada di Siberut. Masing-masing berbeda satu sama lain. Setiap orang Mentawai, baik laki-laki maupun perempuan bisa memakai belasan tato di sekujur tubuhnya.

Pembuatan tato sendiri melewati proses ritual, karena bagian dari kepercayaan Arat Sabulungan (keparcayaan kepada roh-roh). Bahan-bahan dan alat yang digunakan didapat dari alam sekitarnya. Hanya jarum yang digunakan untuk perajah yang merupakan besi dari luar. Sebelum ada jarum, alat pentatotan yang dipakai adalah sejenis kayu karai, tumbuhan asli Mentawai, yang bagian ujungnya diruncingkan.

Sipatiti (pembuat tato) adalah seorang lelaki dan tidak boleh perempuan. Sebelum pembuatan tato harus diadakan ‘punen patiti' (upacara pentatoan). Upacara dipimpin oleh seorang sikerei. Upacara yang dilakukan dengan menyembelih beberapa ekor babi ini harus dibiayai oleh orang yang ditato dan hanya dilakukan pada awal pentatoan.

Membuat tato di Mentawai dilakukan tiga tahap. Tahap pertama pada saat seseorang berusia 11-12 tahun, dilakukan pentatoan di bagian pangkal lengan. Tahap kedua usia 18-19 tahun dengan menato bagian paha. Tahap ketiga setelah dewasa.

Proses pembuatan tato memakan waktu dan diulang-ulang. Tentu saja menimbulkan rasa sakit dan bahkan menyebabkan demam.
Beberapa foto dan dokumentasi Masyarakat suku Mentawai :






Tidak ada komentar:

Posting Komentar